Rabu, 23 Juli 2014

Mencintai Orang lain sebagaimana Mencintai Dirinya sendiri

Cabang Iman
Dalam ajaran agama Islam disebutkan bahwa rukun atau sendi iman ada enam sebagaimana tersebut dalam hadits riwayat Imam Muslim. Iman tersebut mempunyai cabang sebanyak 77 (tujuh puluh tujuh). Setiap cabang berupa pekerjaan yang harus dikerjakan oleh setiap orang yang mengaku beriman. Apabila 77 pekerjaan tersebut dilakukan seluruhnya, maka sempurnalah iman seseorang. Apabila ada yang ditinggalkan, maka berarti berkurang ketebalan imannya. Cabang iman sebanyak 77 adalah berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh para ahli hadits yang berbunyi:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ شُعْبَةً ، اَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَاَدْنَاهَا اِمَاطَةُ الاَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيْمَانِ رَوَاهُ الْمُحَدِّثُوْنَ

Rasulullah saw bersabda: "Iman itu 77 cabangnya. Yang paling utama dari cabang-cabang tersebut adalah mengucapkan "La ilaha illallah" (tiada Tuhan melainkan Allah) dan cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan dari jalan. Malu (berbuat maksiat) adalah satu cabang dari iman." H.R. Para Ahli Hadits.

Mencintai Orang lain sebagaimana Mencintai Dirinya sendiri


Termasuk Cabang iman ke- 77 disebutkan dalam bait syair:
وَاحْبُبْ لِنَاسٍ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ * حَتَّى تَكُوْنَ بِجَنَّةٍ تَتَنَــعَّمُ
Cintailah manusia seperti engkau mencintai dirimu sehingga engkau menjadi orang yang bernikmat-nikmat dengan surga.
Mencintai orang lain sebagaimana mencintai diri sendiri
Rasulullah saw bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لاَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ . رواه البخارى ومسلم
Tidak beriman salah seorang dari kamu sekalian, sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya.
Imam as-Suhaymi dalam menafsiri hadits di atas mengatakan bahwa iman seseorang tidak sempurna sehingga ia mencintai untuk setiap saudara, meskipun kafir, tanpa mengistimewakan kecintaannya kepada seseorang melebihi orang lain, apa yang dicintai untuk dirinya sendiri, seperti ketaatan dan kesenangan-kesenangan dunia yang mubah. Artinya, hendaklah engkau berbuat apa saja untuk seseorang seperti engkau menyukai seseorang berbuat apa saja untukmu. Engkau memperlakukan ia dengan perlakuan yang engkau sukai agar ia memperlakukan engkau. Engkau menasihati dia seperti engkau menasihati dirimu sendiri. Engkau menghukum ia dengan hukum yang engkau sukai agar ia menghukum engkau. Engkau tidak membalas perbuatannya yang menyakitimu. Engkau tidak mengurangi kehormatannya. Jika engkau melihat ia melakukan kebaikan, hendaklah kebaikannya engkau tampakkan. Namun jika engkau melihat ia melakukan hal jelek, engkau tutupi.
Rasulullah saw bersabda:
اَلرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمنُ ، اِرْحَمُوْا مَنْ فِى الاَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ
Para penyayang akan disayangi oleh Dzat Yang Maha Penyayang. Sayangilah siapa saja yang ada di bumi, niscaya siapa saja yang ada di langit akan menyayangi kamu.
Diriwayatkan dari Mujahid dan Salman ra dari Nabi Muhammad saw bahwa sesungguhnya beliau bersabda:
مَنْ حَفِظَ عَلَى اُمَّتِى هَذِهِ اْلاَرْبَعِيْنَ حَدِيْثًا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَحَشَرَهُ اللهُ تَعَالَى مَعَ الاَنْبِيَاءِ وَالْعُلَمَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ . فَقُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، اَيُّ الاَرْبَعِيْنَ حَدِيْثًا؟ قَالَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ : اَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَالْمَلآئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّيْنَ وَالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ وَبِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ مِنَ اللهِ تَعَالَى . وَتَشْهَدَ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ . وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ بِإِسْبَاغِ الْوُضُوْءِ لِوَقْتِهَا بِتَمَامِ رُكُوْعِهَا وَسُجُوْدِهَا . وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ بِحَقِّهَا . وَتَصُوْمَ شَهْرَ رَمَضَانَ . وَتَحُجَّ الْبَيْتَ اِنِ اسْتَطَعْتَ اِلَيْهِ سَبِيْلاً . وَتُصَلِّيَ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِى كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ وَهِيَ سُنَّتِى ، وَثَلاَثَ رَكَعَاتٍ وِتْرًا لاَ تَتْرُكْهَا . وَلاَ تُشْرِكْ بِاللهِ شَيْئًا . وَلاَ تَعْصِ وَالِدَيْكَ . وَلاَ تَأْكُلْ مَالَ الْيَتِيْمِ . وَلاَ تَأْكُلِ الرِّبَا . وَلاَ تَشْرَبِ الْخَمْرَ . وَلاَ تَحْلِفْ بِاللهِ كَاذِبًا . وَلاَ تَشْهَدْ شَهَادَةَ الزُّوْرِ عَلَى اَحَدٍ قَرِيْبٍ اَوْ بَعِيْدٍ . وَلاَ تَعْمَلْ بِالْهَوَى . وَلاَ تَغْتَبْ اَخَاكَ . وَلاَ تَقَعْ فِيْهِ مِنْ خَلْفِهِ وَقُدَامِهِ . وَلاَ تَقْذِفِ الْمُحْصَنَةَ . وَلاَ تَقُلْ ِلأَخِيْكَ : يَا مُرَآئِى ، فَتَحْبَطَ عَمَلَكَ . وَلاَ تَلْعَبْ وَلاَ تَلْهُ مَعَ اللاَّهِيْنَ . وَلاَ تَقُلْ لِلْقَصِيْرِ : يَا قَصِيْرُ ، تُرِيْدُ بِذَلِكَ عَيْبَهُ . وَلاَ تَسْخَرْ مِنْ اَحَدٍ مِنَ النَّاسِ . وَلاَ تَأْمَنْ مِنْ عِقَابِ اللهِ تَعَالَى . وَلاَ تَمْشِ بِالنَّمِيْمَةِ فِيْمَا بَيْنَ الإِخْوَانِ . وَتَشْكُرَ ِللهِ عَلَى كُلِّ نِعْمَةٍ الَّتِى اَنْعَمَ بِهَا عَلَيْكَ . وَتَصْبِرَ عِنْدَ الْبَلاَءِ وَالْمُصِيْبَةِ . وَلاَ تَقْنُطْ مِنْ رَّحْمَةِ اللهِ . وَتَعْلَمَ اَنَّ مَا اَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَاَنَّ مَا اَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَكَ . وَلاَ تَطْلُبْ سُخْطَ الرَّبِّ بِرِضَا الْمَخْلُوْقِيْنَ . وَلاَ تُؤْثِرِ الدُّنْيَا عَلَى الآخِرَةِ . وَاِذَا سَأَلَكَ اَخُوْكَ الْمُسْلِمُ مِمَّا عِنْدَكَ فَلاَ تَبْخَلْ عَلَيْهِ . وَانْظُرْ فِى اَمْرِ دِيْنِكَ اِلَى مَنْ فَوْقَكَ وَفِى اَمْرِ دُنْيَاكَ اِلَى مَنْ هُوَ دُوْنَكَ . وَلاَ تَكْذِبْ . وَلاَ تُخَالِطِ السُّلْطَانَ . وَدَعِ الْبَاطِلَ وَلاَ تَأْخُذْ بِهِ . وَاِذَا سَمِعْتَ حَقًّا فَلاَ تَكْتُمْهَ . وَاَدِّبْ اَهْلَكَ وَوَلَدَكَ بِمَا يَنْفَعُهُمْ عِنْدَ اللهِ وَيُقَرِّبُهُمْ اِلَى اللهِ ، وَأَحْسِنْ اِلَى جِيْرَانِكَ وَلاَ تَقْطَعْ اَقَارِبَكَ وَذَا رَحِمِكَ وَصِلْهُمْ . وَلاَ تَلْعَنْ اَحَدًا مِنْ خَلْقِ اللهِ تَعَالَى . وَاَكْثِرْ التَّسْبِيْحَ والتَّهْلِيْلَ وَالتَّحْمِيْدَ وَالتَّكْبِيْرَ وَلاَ تَدَعْ قِرَاءَةَ الْقُرْآنِ عَلَى كُلِّ حَالٍ اِلاَّ اَنْ تَكُوْنَ جُنُبًا ، وَلاَ تَدَعْ حُضُوْرَ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَاتِ وَالْعِيْدَيْنِ . وَانْظُرْ كُلَّ مَا لَمْ تَرْضَ اَنْ يُقَالَ لَكَ وَيُصْنَعَ بِكَ ، فَلاَ تَرْضَ بِهِ وَلاَ تَصْنَعْهُ بِهِ . بَلْ قَالَ سَلْمَانُ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ : قُلْتُ ، يَا رَسُوْلَ اللهِ ، مَا ثَوَابُ هذِهِ الاَرْبَعِيْنَ حَدِيْثًا؟ قَالَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ : وَالَّذِىِ بَعَثَنِى بِالْحَقِّ نَبِيًّا اِنَّ اللهَ تَعَالَى يَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ الاَنْبِيَاءِ وَالْعُلَمَاءِ . وَمَنْ تَعَلَّمَ هذِهِ الاَرْبَعِيْنَ حَدِيْثًا وَعَلَّمَهَا النَّاسَ كَانَ ذلِكَ خَيْرًا مِنَ اَنْ يُعْطَى الدُّنِيَا وَمَا فِيْهَا
Barangsiapa yang mengutipkan 40 berita ini kepada umatku, maka ia akan masuk surga dan Allah akan mengumpulkannya bersama para nabi dan ulama pada hari kiamat! Kami (para sahabat) bertanya: "Wahai Rasulullah, 40 berita yang manakah itu?" Rasulullah saw menjelaskan:
  1. Hendaklah engkau beriman kepada Allah, hari kiamat, para malaikat, kitab-kitab, para nabi, kebangkitan sesudah mati, dan takdir baik dan buruk dari Allah Ta'ala.
  2. Engkau mengakui bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah.
  3. Engkau mendirikan salat dengan menyempurnakan wudlu pada waktunya, dengan menyempurnakan ruku' dan sujudnya.
  4. Engkau menunaikan zakat dengan haknya.
  5. Engkau berpuasa pada bulan Ramadlan.
  6. Engkau pergi haji ke Baitullah jika mampu.
  7. Engkau salat duabelas rakaat sehari semalam. Salat duabelas rakaat adalah sunnahku (menurut riwayat Imam an-Nasai, Ummu Habibah, maksudnya adalah salat rawatib, yaitu: 4 rakaat sebelum salat fardlu dhuhur; 2 rakaat sesudah salat fardlu dhuhur; 2 rakaat sebelum salat fardlu asar; 2 rakaat sesudah salat fardlu maghrib; dan 2 rakaat sebelum salat fardlu isyak). Janganlah engkau tinggalkan salat witir tiga rakaat.
  8. Jangan engkau sekutukan Allah dengan sesuatu.
  9. Jangan engkau durhakai kedua orang tuamu.
  10. Jangan engkau makan harta anak yatim.
  11. Jangan engkau makan harta riba.
  12. Jangan engkau minum arak.
  13. Jangan engkau bersumpah atas nama Allah dengan dusta.
  14. Jangan engkau menjadi saksi palsu terhadap seseorang, baik kerabat dekat maupun jauh.
  15. Jangan engkau berbuat karena menuruti hawa nafsu.
  16. Jangan engkau mengghibah saudaramu.
  17. Jangan engkau terjatuh dalam perbuatan ghibah dari belakang maupun dari muka saudaramu.
  18. Jangan engkau menuduh zina perempuan yang baik-baik.
  19. Jangan engkau mengatakan kepada saudaramu: "Hai orang yang riya", agar engkau tidak menghapus amalmu sendiri.
  20. Jangan engkau bermain dan berbuat sia-sia bersama orang-orang yang berbuat lalai.
  21. Jangan engkau katakan kepada orang yang pendek: "Hai si pendek", dengan maksud mencelanya.
  22. Jangan engkau olok-olok seseorang.
  23. Jangan engkau merasa aman dari siksa Allah Ta'ala.
  24. Jangan engkau adu domba di antara para saudara.
  25. Hendaklah engkau bersyukur pada Allah atas tiap nikmat yang telah diberikan kepadamu.
  26. Hendaklah engkau bersabar pada waktu tertimpa bala' dan cobaan.
  27. Jangan engkau berputus asa terhadap rahmat Allah.
  28. Hendaklah engkau mengetahui bahwa musibah yang menimpamu tidak mungkin dapat terlepas darimu dan bahwa sesuatu yang tidak menimpamu tidak mungkin dapat mengenai kamu.
  29. Jangan engkau cari kemurkaan Allah lantaran mencari kerelaan makhluk.
  30. Jangan engkau pentingkan dunia dari pada akhirat.
  31. Jika saudaramu meminta sesuatu yang ada padamu, janganlah engkau bakhil kepadanya.
  32. Bandingkanlah urusan agamamu dengan orang yang di atasmu, dan dalam urusan duniamu dengan orang yang di bawahmu.
  33. Jangan engkau berdusta.
  34. Jangan engkau bergaul dengan penguasa.
  35. Tinggalkan perkara yang batal dan jangan engkau mengambilnya.
  36. Jika engkau mendengar kebenaran, jangan engkau sembunyikan.
  37. Didiklah keluarga dan anak-anakmu dengan segala sesuatu bermanfaat bagi mereka di sisi Allah dan dapat mendekatkan didi kepada Allah, berbuat baiklah kepada tetangga dan jangan putuskan hubungan kerabat dan famili, tapi sambungkan hubungan dengan mereka.
  38. Jangan engkau laknat makhluk Allah Ta'ala.
  39. Perbanyaklah membaca: tasbih, tahlil, tahmid, takbir, dan jangan engkau tinggalkan membaca al-Quran pada setiap keadaan, kecuali jika kamu sedang junub; jangan engkau tinggalkan salat Jumat, salat berjamaah, dan salat hari raya.
  40. Perhatikanlah segala yang tidak engkau relakan untuk diucapkan dan dilakukan kepadamu, maka jangan engkau relakan untuk dilakukan kepada seseorang dan jangan engkau lakukan.

Sahabat Salman ra bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah pahala dari 40 berita ini?" Rasulullah saw bersabda: "Demi Dzat yang telah mengutusku sebagai nabi dengan hak, sungguh Allah Ta'ala akan mengumpulkan dia pada hari kiamat bersama para nabi dan para ulama. Dan Barangsiapa yang mempelajari 40 berita ini dan mengajarkannya yang lain, niscaya hal itu lebih baik dari pada ia diberi dunia dan isinya.
Syeikh Abdul Mun'im menambah satu bait syair mengenai salawat sebagai penutup
ثُمَّ الصَّلاَةُ عَلَى النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ × وَاْلآلِ وَالصَّحْبِ الَّذِيْنَ يُحَشَّمُ
Kemudian kesejahteraan semoga tetap atas Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabat yang seperti pelayan, keluarga, dan kerabat di sisi Nabi saw.

Disadur dari kitab Qami'u ath-Thughyaan (قَامِعُ الطُّغْيَانِ) karya Syaikh Muhammad Nawawi bin 'Umar al-Bantani al-Jawi

Sumber:
http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net
"http://ashhabur-royi.blogspot.com"


Rabu, 02 Juli 2014

Iyyaka na’budu

Tadzkirah

Kisah ini diceritakan oleh Syaikh Akbar Ibnu Arabi dalam kitabnya Al Futuhat Al Makkiyah. Berikut petikannya:

Seorang ustadz bercerita bahwa ia memiliki seorang murid kecil yang terbiasa membaca Al Quran kepadanya. Suatu hari, ia melihat wajah muridnya sayu. Ia pun bertanya tentang kondisi murid itu kepada teman-temannya. Ada yang menjawab bahwa anak itu telah shalat malam dengan mengkhatamkan seluruh Al Quran.

Ia lalu bertanya kepadanya, “Wahai anakku, saya diberitahu bahwa kamu semalam mengkhatamkan seluruh Al Quran dalam shalatmu.”

“Benar, ustadz.” jawab murid itu.

“Wahai anakku, nanti malam, bayangkanlah wajahku di depanmu sewaktu kamu shalat lalu bacalah Al Quran di hadapanku dan jangan kamu lalai.”

“Ya, ustadz.”

Ketika pagi hari, ia bertanya, “Apakah kamu sudah melakukan apa yang aku pesankan?”

“Sudah, ustadz.”

“Apakah kamu mengkhatamkan Al Quran?”

“Tidak, aku tak mampu menyelesaikan lebih dari separo Al Quran.”

“Wahai anakku, itu cukup baik. Nanti malam, hadirkanlah bayangan wajah salah seorang sahabat Rasulullah, mereka adalah orang-orang yang telah mendengarkan Al Quran langsung dari Rasulullah, lalu bacalah di depannya dan hati-hati jangan sampai salah.”

“Insyaallah, ustadz. Saya akan lakukan.” jawab sang murid.

Keesokan harinya, ia bertanya lagi, “Apakah kamu sudah melakukan apa yang aku pesankan?”

Murid itu menjawab, “Saya tak mampu membaca lebih dari seperempat Al Quran.”

“Baiklah, nanti malam kamu bayangkan wajah Rasulullah yang telah menerima wahyu Al Quran itu dan sadarlah di depan siapa kamu sedang membaca.”

“Baik, ustadz.”

Keesokan harinya, ketika guru bertanya, murid itu menjawab,

“Aku tak mampu membaca lebih dari satu juz saja atau sekitar itu.”

“Wahai anakku, nanti malam kamu bayangkan wajah Jibril yang telah mendiktekan Al Quran kepada Rasulullah, bacalah di depannya dan sadarlah di depan siapa kamu sedang membaca.”

“Baik, ustadz.”

Keesokan harinya, ketika ia bertanya, murid itu menjawab,

“Saya tidak mampu membaca lebih dari beberapa ayat saja.” sambil menyebutkan ayat-ayat Al Quran yang ia baca.

“Wahai anakku, malam nanti bertaubatlah kepada Allah dan menunduklah. Ketahuilah bahwa orang yang sedang shalat itu adalah orang yang sedang berduaan dengan tuhannya. Renungkanlah apa yang kamu baca. Yang terpenting bukanlah memperbanyak bacaan, tapi tadabbur (menghayati) ayat-ayat yang kamu baca. Maka, jangan sampai kamu lalai.”

Keesokan harinya, sang guru tidak menemui murid itu. Ada yang mengatakan bahwa ia sedang sakit. Lalu ia menjenguknya.

Ketika melihat wajah ustadznya, murid itu menangis sambil berkata,

“Wahai ustadz, semoga Allah membalas anda dengan kebaikan. Aku belum pernah menyadari bahwa aku telah berbohong kecuali semalam tadi. Semalam aku telah membayangkan wajah Allah dalam shalatku, lalu aku pun merasa berat ketika membaca Al Quran di depan-Nya, aku tidak bisa menyelesaikan surat Al Fatihah kecuali hanya sampai Maliki Yaumiddin saja. Ketika aku hendak membaca Iyyaka na’budu, aku malu. Aku merasa telah berdusta di hadapan Allah. Aku mengaku hanya menyembah-Nya saja, tapi kenyataannya aku masih lalai dalam menyembah-Nya. Aku tidak bisa ruku’ sampai terbit fajar. Aku takut menghadap Allah dalam keadaan yang tidak aku sukai ini.”

Tiga hari kemudian, murid tersebut meninggal dunia. Ketika dimakamkan, sang ustadz mengunjungi kuburannya lalu bertanya tentang keadaannya di sana. Tiba-tiba ia mendengar suara pemuda itu dari bawah kuburan, “Wahai Ustadz, saya hidup di sisi Sang Maha Hidup. Dia tidak menghisabku sedikit pun.”

Kemudian ustadz itu pulang ke rumahnya dalam keadaan sakit, ia terbaring di atas ranjang akibat melihat kejadian itu. Tak lama kemudian, ia pun meninggal dunia menyusul pemuda tersebut.

Syaikh Ibnu Arabi berkata, “Barangsiapa membaca iyyaka na’budu seperti bacaan pemuda itu, ia telah benar-benar membacanya.”

(Sumber: Al Futuhan Al Makkiyah: Safar 6 hal. 297 cet. Sorbon; 2/6-7 Maktabah Syamilah)

Saudaraku, sudah berapa kali kita shalat? Pernahkah kita merasakan apa yang dirasakan oleh pemuda tadi? Sungguh, seandainya setiap orang yang shalat menghayati ayat-ayat yang sedang ia baca, niscaya shalat itu akan menjadi energi luar biasa yang akan merubah dirinya. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar.” Rasulullah SAW bersabda, “Seseorang yang shalat sedang berduaan dengan Tuhannya.”

Wallahu a’lam bis showab.

Semoga bermanfaat.

Rabu, 11 Juni 2014

MANAQIB SYEKH ABDUL QODIR JAILANI ( 51 - 57 )


51. MANQOBAH KELIMA PULUH SATU : WASIAT SYEKH ABDUL QODIR KEPADA PUTRANYA ABDUL ROZAK
Syekh Abdul Qodir telah berwasiat kepada putranya yang bernama Abdul Rozak. Beberapa wasiatnya di antaranya:
"Wahai anakku, semoga Alloh senantiasa melimpahkan taufik dan hidayahNya bagimu dan segenap kaum muslimin. Wahai Ananda, ayah berwasiat bertakwalah kepada Alloh, pegang syara’ dan laksanakan dengan sebaik-baiknya dan pelihara pula batas-batas agama. Ketahuilah bahwa thorekatku dibangun berdasarkan al-Qur'an dan sunnah Rosululloh SAW.  Hendaknya kamu berjiwa bersih, dermawan, murah hati, dan suka memberi pertolongan kepada orang lain dengan jalan kebaikan. Kamu jangan bersikap tegar hati atau berlaku tidak sopan. Sebaiknya kamu bersikap sabar dan tabah menghadapi segala ujian dan cobaan, serta musibah yang dihadapimu. Hendaknya kamu bersikap suka mengampuni kesalahan orang lain, dan bersikap hormat pada sesama ikhwan dan semua fakir miskin. Jaga dan pelihara olehmu kehormatan guru-guru, dan berbuat baiklah jika kamu bertemu dengan orang lain, beri nasihat yang baik bagi orang-orang besar tingkat kedudukannya, demikian pula bagi masyarakat kecil di bawahmu. Jangan dibiasakan suka berbantah-bantahan dengan orang lain, kecuali dalam masalah agama. Ketahuilah bahwa hakikat kemiskinan secara agama berupa ketidak butuhan akan ciptaan, semisal diri. Tasawuf dicapai lewat kelaparan dan pantangan dari hal-hal yang disukai dan dihalalkan, dan pribadi yang bersikap tidak banyak bicara apalagi besar mulut. Jika kamu berhadapan dengan orang miskin, jangan berpintar diri. Jangan dimulai dengan ilmu, sebab unjuk ilmu membuatnya tak senang, dan ia akan jauh darimu. Sebaliknya, hendaklah dimulai dengan kasih sayang, bersikap lembut karena kelembutan membuatnya senang dan lebih dekat padamu.
Tasawuf itu dibangun di atas kerangka landasan yang kokoh pada delapan hal yakni :
1) kedermawanan;
2) rido / pasrah, merasa senang menghadapi kegetiran qodo dan qodar;
3) sabar;
4) isyarat /memberi petunjuk;
5) mengembara / melanglangbuana;
6) berbusana wool/bulu;
7) pelintas rimba belantara / rimbawan; dan
8) fakir / bersahaja, sederhana.

Kedelapan nilai moral itu telah dimiliki oleh:
1) kedermawanan Nabi Ibrahim as;
2) keridoan, kepasrahan Nabi Ishak as;
3) kesabaran Nabi Ayub as;
4) isyaratnya Nabi Zakaria as;
5) berlanglangbuana seperti Nabi Yusuf as;
6) berbusana wool seperti Nabi Yahya as;
7) rimbawannya Nabi Isa as; dan
8) kefakiran, kesederhanaan Nabi Muhammad SAW.
Bila kamu berkumpul bersama-sama dengan orang kaya, perlihatkan kegagahan dan keberanianmu, namun sebaliknya perlihatkan kerendahan hati bila kamu berkumpul dan bergaul dengan orang miskin.
Hendaknya kamu mengikhlaskan diri dalam setiap laku perbuatan, dan kegiatan. Seharusnya bermudawamah dzikrullah, artinya tiada putus-putusnya mengingat Alloh.
Kamu jangan berprasangka buruk kepada Alloh dalam segala situasi dan kondisi apapun. Demikian pula harus berserah diri kepada Alloh dalam segala tindak perbuatan. Jangan menggantungkan diri kepada orang lain, percayalah kepada kemampuan dirimu sendiri, baik terhadap keluarga maupun teman sejawat.
Layani, dan selalu perhatikan para fakir miskin, terutama dalam tiga hal yakni: pertama, bersikap tawadu (merendahkan diri); kedua berbudi pekerti yang baik dan mulia, dan ketiga, kebeningan hati, dan mengekang hawa nafsu, agar kelak kamu menjadi hidup.
Perhatikan olehmu, bahwa yang paling dekat kepada Alloh ialah orang yang berbudi·pekerti yang luhur. Dan amal yang paling utama, ialah memelihara hati dari melirik kepada yang lain, selain hanya kepada Alloh saja.  Bila kamu bergaul bersama orang miskin berwasiatlah dengan jalan kebenaran dan kesabaran.
Tentang masalah dunia, kiranya cukup bagimu dua hal :
pertama bergaul dengan orang miskin,  kedua menghormati wali.  Selain dari pada Alloh, segala sesuatu itu jangan dipandang cukup, menyerang di bawahmu adalah pengecut, berlagak gagah terhadap sesama, adalah lemah, dan berlaku sombong kepada orang yang lebih tinggi kedudukannya, menunjukkan ketidaksopanan. Ketahuilah, bahwa Tasawuf dan fakir merupakan dwi tunggal kebenaran yang hakiki, bukan bercanda atau main-main. Oleh karena itu jangan dicampur dengan bercanda.
Sekianlah wasiat ayahanda padamu. Semoga Alloh senantiasa melimpahkan taufik dan hidayah-Nya padamu dan pada murid-muridku atau siapapun yang mendengar wasiat yang disampaikan ini, semoga dapat mengamalkannya dengan diiringi keagungan dan syafaat jungjungan kita Nabi Muhammad SAW., Amin Ya Robbal ‘alamin".
***
alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridlwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.
***

53. MANQOBAH KELIMA PULUH TIGA: SYEKH ABDUL QODIR WAFAT
Menjelang akhir hayat Syekh, malaikat Izroil datang mengunjungi Syekh di kala matahari akan terbenam ke peraduannya. Malaikat Izroil itu datang membawa surat dari Alloh SWT. Buat Syekh dengan alamat sebagai berikut:
"Yashilu Hadzal Maktuubu Minal Muhibbi Ilal Mahbubi (Surat ini dari Dzat Yang Maha Pengasih disampaikan kepada wali yang dikasihi)". Kemudian surat tersebut diterima oleh putranya yang bernama Sayyid Abdul Wahab.
Setelah diterima, masuklah dia bersama malaikat Izroil, sebelum surat dihaturkan kepada Syekh, beliau sudah mengerti bahwasanya beliau akan pindah ke alam 'uluwi, alam tinggi yakni meninggal dunia.
Syekh berkata kepada putra-putranya: "Jangan terlalu dekat, supaya menggeser agak jauh, karena lahiriahnya aku bersama-sama dengan kamu, sedang batiniahnya aku bersama dengan selain kamu, dan supaya diperluas ruang ini, karena hadir selain daripadamu, tunjukkan sopan santunmu.
Siang dan malam harinya, tak henti-hentinya beliau mengucapkan:
"Wa 'alaikus Salam Warahmatullahi wabarakatuh Gofarollohu Lii Walakum, Taa-ballahu alaiyya wa alaikum. Bismillahi gaeri Muu-di-'ina".
Dan membaca:
" Wadkhuluu fi shaffi-l awwali. Idzan ajii-u Ilaikum. Rifqon Rifqon Wa 'alaikumussalaam Ajiu Ilaikum".
Dan dibaca:
"Qifuu Ataa—hul Haqqu Wa Sakaratul Mauti".
Beliau berpesan: "Jangan ada yang menanyakan apapun kepadaku, karena aku sedang bolak-balik dalam lautan ilmunya Alloh", lalu dibacakan :
"Ista'antu Bi Laa ilaaha illallohu, Subhanahuu Wata'ala Wal Muhyil-ladzi Laa Yakhsyal Fautu. Subhaana Man taaz-zaza Bil Qudrati Waqahri ’Ibaa-dahu Bil Mauti La Ilaa-ha Illallohu, Subhaa-nahu Wata'alaa Walhayyil-ladzi La Yakhsal gautsu, Subhaana Man taaz-zaza Bil Qudrotika Waqohri 'ibaa-dahu Bil Mauti Laa i1aa-ha illallohu Muhammadur Rosulullohil Taaz-zaza. Ta‘az-zaza, Allohu, Allohu, Allohu".
Terdengar suaranya nyaring, lalu suara lembut tidak terdengar lagi, dan meninggallah. Ridwanallahu ‘Anhu.
Syekh wafat pada malam Senin ba‘da lsya. pada tanggal 11 Rabi'ul Akhir tahun 561 Hijriyah (1166 Masehi ) pada usia 91 tahun.
***
alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridlwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.
***

54. MANQOBAH KELIMAPULUH EMPAT : SYEKH ABDUL QODIR BERTEMU DENGAN WALI PEMBIMBING SYEKH HAMAD WALI BESAR PADA ZAMANNYA BELIAU
Selama belajar di Bagdad, karena sedemikian jujur dan murah hati, beliau mesti tabah menderita. Berkat bakat dan kesalehannya, beliau cepat menguasai ilmu pada masa itu. Beliau membuktikan diri sebagai ahli hukum terbesar di masanya. Tetapi kerinduan rohaniah yang mendalam dalam gelisah ingin mewujudkan diri. Bahkan dalam masa mudanya tenggelam dalam belajar. Beliau gemar mujahadah yakni penyaksian langsung akan segala kekuasaan dan keadilan Alloh melalui mata hatinya.
Beliau sering berpuasa dan tidak mau meminta makanan dari seseorang, meski harus pergi berhari-hari tanpa makan. Di Bagdad beliau sering menjumpai orang-orang yang berpikir secara rohaniah dan bergaul dengan mereka.
Dalam masa pencarian inilah beliau bertemu dengan Syekh Hamad, seorang penjual sirup yang merupakan wali besar pada zamannya. Lambat laun wali ini menjadi pembimbing rohani Syekh Abdul Qodir. Syekh Hamad adalah seorang wali yang sangat keras, karenanya diperlakukan sedemikian keras sufi yang sedang tumbuh ini. Namun calon Ghaots ini menerima semua ini sebagai koreksi bagi kecacatan rohaninya.
***
alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridlwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.
***
55. MANQOBAH KELIMA PULUH LIMA : SYEKH ABDUL QODIR DENGAN LATIHAN-LATIHAN ROHANINYA

Setelah menyelesaikan studinya, beliau kian keras terhadap dirinya. Beliau mulai mematangkan diri dari semua kebutuhan dan kesenangan hidup. Waktu dan tenaganya tercurah pada sholat dan membaca al-Qur‘an. Sholat demikian menyita waktunya sehingga beliau sering sholat Subuh tanpa berwudu lagi karena belum batal.
Diriwayatkan pula, beliau kerap kali tamat membaca al-Qur'an dalam satu malam. Selama latihan rohaninya ini, dihindarinya berhubungan dengan manusia, sehingga beliau tidak bertemu atau berbicara dengan seorang pun. Bila ingin berjalan-jalan, beliau berkeliling padang pasir. Akhirnya beliau tinggalkan Bagdad dan menetap di Syutsar, l2 hari perjalanan dari Bagdad. Selama sebelas tahun beliau menutup diri dari keramaian dunia. Akhir masa ini menandai berakhirnya latihannya. Beliau menerima Nur yang dicarinya. Dari sifat kehewanannya kini telah digantikan oleh wujud mulianya.
***
alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridlwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.
***
56. MANKOBAH KELIMA PULUH ENAM: SYEKH ABDUL QODIR MELAKSANAKAN KEGIATAN IBADAHNYA DAN WIRID
YANG BELIAU BACA Diriwayatkan, para ulama menerangkan bahwa Syekh Abdul Qodir mempunyai murid yang tetap sebanyak enam puluh orang. Mereka belajar tiap hari, bagi mereka yang tidak mempunyai pena Syekh memberi hadiah baginya, dan mereka yang ingin mempunyai sejarah silsilah guru, beliau sendiri yang menulisnya. Apabila beliau batal dari wudu, beliau melaksanakan mandi wajib pengganti wudu. Pernah terjadi pada suatu malam beliau menderita sakit perut, sampai lima puluh kali beliau bolak-balik pergi ke kakus untuk qodo hajat, dan setiap balik itu selalu beliau melaksanakan mandi wajib. Adakalanya beliau langsung sendiri pergi ke pasar berbelanja untuk makanan fakir miskin, hal ini kalau terlihat pelayannya sedang istirahat. Syekh tidak merasa canggung bekerja seperti menumbuk, memasak makanan lalu membagikannya kepada fakir miskin. Syekh sangat menghormati para penziarah yang datang berkunjung kepada beliau. Jarang sekali beliau makan daging atau makan makanan yang serba enak dan mewah. Pribadi beliau sangat tawadu, ikhlas lillahi ta’ala. Beliau sering berbelanja ke pasar untuk memenuhi keperluan dan permintaan keinginan anak-anak. Karomah beliau jarang diperlihatkan atau dipamerkan kepada umum, malah seringkali disembunyikan. Pernah beliau berkata: "Barang siapa yang memperlihatkan, memamerkan karomah, tiada lain ia hanya mengharapkan duniawiyahnya saja, kecuali kalau diperintah Alloh, atau karena motivasi hikmah". Pada setiap hari beliau melaksanakan sholat sunnat seribu rokaat banyaknya, yang dibaca surat Mujammil, Surat Rohman. Bila membaca surat Al-lkhlas sekurang-kurangnya dibaca seratus kali. Setiap melaksanakan sholat fardu diakhiri dengan khatarn al-Qur'an. Tiap malam beliau membaca Asma Arbainiyyah enam ratus kali banyaknya, demikian pula pada siang harinya. Seusai sholat Duha, sholat Asar, dan ba’da sholat Tahajud beliau membaea doa Saefi, lalu beliau membaca Sholawat Kubro, Asmaul Husna. Asmaun Nabawi, dan setiap bacaan sebanyak seribu kali.
***
alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridlwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.
***

57. MANQOBAH KELIMA PULUH TUJUH : SYEKH NAQSYABANDI MENERIMA TALKIN ZIKIR ISMUDZAT DARI SYEKH ABDUL QODIR
Syekh Abdullah Al Balko meriwayatkan dalam kitab Khawariqul Ahtab Fi Ma'rifatil Akhtob pada bab kedua puluh lima: "Saya menerima berita dari Khowajaki Sarmasat, ia mendengar pembicaraan guru-guru (para Syekh Kamilin) yang bertempat tinggal di negara Bukhori, mereka menceritakan bahwa Syekh Abdul Qodir Ghaotsal 'Adhom pada suatu hari beliau berdiri diatas pagu, loteng sebuah rumah menghadap ke arah kawasan Bukhoro. Di sana beliau bersama-sama dengan jamaah ikhwan, beliau mencium wangi kemuliaan, lalu Syekh berkata: "Nanti sepeninggalku, pada masa seratus lima puluh tujuh tahun yang akan datang, akan lahir seorang anak lelaki Qolandi Muhamadi, nama lengkapnya Syekh Bahauddin Muhammad An-Naqsyabandi. Dia akan memperoleh limpahan nikmat keistimewaanku", dan hal ini terbukti seperti apa yang dikatakan Syekh.
Diriwayatkan pula, pada waktu Syekh Naqsyabandi setelah beliau menerima baiat pentalkinan dari gurunya As-Sayyid Amir Kulal, gurunya memerintahkan kepada Syekh Naqsyabandi agar thorekatnya itu dihayati dengan sungguh-sungguh, dengan menguatkan ingatannya kepada lsmul 'Adhom. Dirasakan oleh beliau bahwa Ismu Dzat itu masih labil, belum mantap dalam hatinya, sehingga timbul rasa cemas, lalu berangkatlah menuju suatu lapangan, kebetulan di sana beliau bertemu dengan Nabi Khidir a.s. Setelah disambut dengan ucapan salam, Nabi Khidir a.s. berkata: "Wahai Bahauddin, sesungguhnya Ismu Dzat itu telah sampai padaku, telah kuperoleh dari Syekh Abdul Qodir, oleh karena itu saya anjurkan padamu agar kami bertawajjuh rabithoh kepada Syekh Abdul Qodir untuk memperoleh keberkahannya". Pada malam harinya, Syekh Bahauddin mimpi bertemu dengan Syekh Abdul Qodir, langsung beliau memberi isyarat dengan jari tangan kanannya ke arah dada Syekh Bahauddin, lalu beliau mencap mentalkin lsmul 'Adhom itu pada hatinya. Setelah ditalkin, terasa kemantapan dan bisa menghayati sesuatu yang dicemaskan tadi. Keesokan harinya telah dikenal di kalangan masyarakat di tempat itu hal yang telah dialami Syekh Bahauddin, lalu mereka menanyakannya. Syekh Bahauddin menjawab: "Sesungguhnya ini suatu pelimpahan dari segala kelimpahan suatu inayah, pada malam keberkahan itu, saya telah memperoleh limpahan kenikmatan dari Gaotsal 'Adhom dan pada malam itu saya melihat bertambahnya peningkatan kondisi mental kerohanianku".
Pada masa itu telah mashur di kalangan masyarakat dan para wali bahwa Syekh Bahauddin telah dicap Ismudzat pada hatinya oleh Syekh Abdul Qodir. Demikian pula halnya Syekh Abdul Qodir mencap, mentalkin lsmul 'Adhom (Ismu Dzat) pada hati murid-muridnya.
Kemudian banyak para wali yang datang berkunjung kepada Syekh Bahauddin, mereka menanyakan tentang pandangannya atas perkataan Syekh Abdul Qodir: "Qodamii ‘Alaa Roqobati Kulli Waliyulloh". Syekh Bahauddin menjawab "Sesungguhnya menurut pandanganku beliau itu bukan hanya sekedar memijak pundak, tapi "’Alaa ‘aeni au ’alaa Bashirotti (Memijak pada mataku atau pada mata hati nuraniku)".
***
alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridlwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.
***

DOA MANQOBAH
ilà hadlroti sulthònul auliyå-i wa qudwatil ashfiyà-i quthbir robànì wal ghoutsush shomadànì sayyidì assayyid 'abdul qòdir aljailànì -alfàtihah-
allòhhumma sholli wa sallim 'alà sayyidinà wa habìbìna wa syafi'ìnà wa maulànà muhammadiw wa 'alà àlihhì wa ashhàbihhì ajma'ìna.
-àmìn-

allòhhumma bi asmà-ikal husnà wa bi-asmà-i nabiyyikal mushthofà wa bi-asma-i waliyyika 'abdul qòdiril mujtabà thohhhir qulùbanà ming kulli washfiy yubà'idunà 'ang musyàhhadatika wa mahabbatika wa amitnà 'alàs sunnati wal jamà'ati wa syarrih bihhà shudùronà wa yassir bihhà umùronà wa farij bihhà hhumùmanà waksyif bihhà ghumù manà waghfir bihhà dzunùbanà waqdli bihhà duyùnanà wa ashlih bihhà ahwàlanà wa balligh bihhà åmàlanà wa taqobal bihhà taubatanaa waghshil bihhà haubatanà wangshur bihhà hujjatanà waj 'alnà bihhà minal muttabi'ìna lisyarì'ati nabiyyikal muttashifìna bimahabbatihhìl muhtadìna bihhadyihhì wa sìrotihhì wa taffanà bihhà 'alà sunnatihhì wa là tahrimnà fadl-la syafà'atihhì wahsyurnà fì zumrotihhì wa atbà'ihhìl ghurril muhajjalìna wa asy-yà'ihhis sàbiqìna wa ash-hàbihhil yamìni yå arhamar ròhimìna.